Musik Religius di Persimpangan Jalan

Musik Religius di Persimpangan Jalan
Musik Religius di Persimpangan Jalan

Perdebatan mengenai musik religius merupakan perdebatan klasik antara dua kubu ulama: antara kubu para sufi dan kubu ulama fikih. Perbedaan tersebut lebih disebabkan ole arah berpikirnya memang berbeda. Para ulama fikih memandang musik dengan menggunakan hadits-hadits dan pernyataan para Sahabat yang umumnya memang keras terhadap musik. Sedangkan  para sufi memiliki pandangan filosofis yang sangat lunak atau bahkan bersahabat dengan musik. Merekalah yang kemudian membuat aliran musik religius. Musik religius disponsori oleh dua tokoh sufi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin ar-Rumi. Maraknya musik religius didunia tarekat rata-rata berpedoman pda pendapat keduanya.

Dalam Ihya'nya Imam al-Ghazali, Imam Abu Hamid al-Ghazali mendukung musik religius, tapi beliau memberikan banyak sekali catatan dari segala aspek, mulai dari apa yang dilantunkan, bagaimana cara melantunkan, apa alat musiknya dan siapa yang melantunkan... dan seterusnya. Meski mendukung musik religius, Imam al-Ghazali yang dikenal sebagai tokoh yang berhasil mendamainkan fikih dan tasawuf, tetap teguh memegang nash-nash Hadits yang mencela musik.

Dukungan Imam al-Ghazali terhadapa musik religi itu karena beliau melihat kenyataan bahwa musik dikalangan orang-orang sufi memang betul-betul digunakan untuk memperkentak spiritual di hadapan Allah. Maka al-Ghazali hanya mengharamkan tiga alat musik yang tercantum dalam Hadits, yaitu seruling, gitar dan gendang dua sisi dan ditengah kecil. Untuk selain itu, maka tergantung digunakan untuk apa? Jika digunakan untuk kebaikan maka baik dan sebaliknya. Imam al-Ghazali tidak mengiaskan alat musik yang lain kepada tiga alat itu sebagaimana yang dilakukan oleh ulama fikih.

Pandangan al-Ghazali ini lebih moderat dibanding pandangan tarekat Maulawiyah (tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin ar-Rumi tentang musik religi). Mereka justru menghalalkan penggunaan semua jenis alat musik sebagai kecenderungan spiritual mereka.

Al-Ghazali maupun ar-Rumi sebetulnya hanya melakukan reformulasi, dukungan terhadap musik religi sebetulnya sudah ada sebelum mereka berdua. Dala Ihya' Imam Ghazali menyebutkan bahwa petinggi-petinggi sufi seperti Imam Junaid, Sari as-Saqathi dan Dzunnun al-Mishri mendengarkan lagu. Bahkan para Sahabat Rasulullah semisal Mughirah bin Syu'bah, Abdullah bin Ja'far dan Muawiyah juga mendengarkan lagu.

Madzhab empat seluruhnya menyatakan behwa musik dan lagu itu tidak baik, minimal mengatakan makruh, Imam as-Syafi'i menyatakan bahwa kecenderungan terhadap musik membuat ummat islam lupa terhadapa al-Quran. Sedangkan dukungan teoritik terhdapa musik religi ini rata-rata datang dari kelompok yang memiliki kecenderungan tasawuf dan filsafat sekaligus. Ibnu Sina dianggap sebagai pendorong yang menyatakan bahwa mengdengarkan musik/lagu dapat menjernihkan hati dan pikiran.

Ikhwan ash-Shafa, kelompok studi tasawuf-filsafat bawah tanah yang berdiri sebelum Imam al-Ghazali, merupakan kelompok ilmuwan pendukung musik religi. Mereka menyatakan bahwa musik memiliki pengaruh yang berbeda terhdapa hati dan perasaan, bisa berpengaruh baik dan buruk. Pendapat kelompok sufi yang menggunakan ukuran perasaan itu (terutama al-Ghazali) dikritik dengan sangat kejam oleh Inbu Qoyyim al-Jauziyah. Ia menyatakan bahwa perasaan yang timbul karena lantunan musik adalah objek hukum bukan pemberi hukum. Maka baik dan buruknya perasaan tidak bisa ditentukan oleh perasaan itu sendiri, tapi harus diukur dengan ukuran lain, yaitu syariat. Kritikan Ibnu Qayyim sebetulnya diarahkan secara lebih khusus terhdap konsep musik religi al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin. Karena dalam beberapa pernyataannya, Ibnu Qayyim mengutip hujjah al-Ghazali lalu memberikan bantahannya.

Walhasil, mengenai musik religi itu terserah kepada kita masing-masing. Apa kita akan menggunakan logika tasawuf-filsafat atau meu menggunkan logika fikih. Ulama fikih (kecuali Ibnu Hazm) menganggap bahwa musik adalah sesuatu yang buruk berdasarkan beberapa nash Hadits dan penafsiran beberapa ayat al-Quran. Para ulama tasawuf-filsafat memandang musik dengan menggunakan perasaan atau apa pengaruhnya terhadap hati, dengan beberapa catatan seperti yang telah  disebutkan oleh al-Ghazali.

Jika kita membawa perdebatan musik religi antara fikih dan tasawuf itu kedalam masa sekarang, maka lebih baik kalu misalnya kita berhati-hati. Jika tidak betul-betul diperlukan sebaiknya tidak menggunakannya. Jikan memang dibutuhkan maka gunakanlah pendapat al-Ghazali yang memperbolehkan musik dengan beberapa catatan. Sebaiknya jangan sampai melampaui pendapat Imam al-Ghazali dalam mendukung musik, karena khawatir termasuk dalam Hadits Rasulullah: "Akan ada segolongan dari ummatku yang menghalalkan sutra, khamr, dan ma'azif (alat petik)" HR.Abu Dawud. Wallahu A'lam.
Artikel Terkait

Catatan:

File yang kami bagikan kami simpan di google drive, jika file format word dan excel dialihkan ke aplikasi google doc maka unduh / save as dulu ya. Namun jika kesulitan, silahkan baca cara downloadnya