Karakter dan Faktor Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak Usia Dini

Karakter dan Faktor Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak Usia Dini
Karakter dan Faktor Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak Usia Dini

Perkembangan sosial-emosional menurut para ahli, bertujuan untuk mengetahui diri sendiri dan berhubungan dengan orang lain yaitu teman sebaya dan orang dewasa, bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan berperilaku sesuai dengan perilaku prososial. Perkembangan sosial, sebagaimana dikatakan Muhibbin (1999:35), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.

Adapun Hurlock mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat diperlukan tiga proses sosialisasi. Ketiga proses tersebut nampak terpisah, tetapi sebenarnya saling berhubungan:

  1. belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat
  2. belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat
  3. mengembangkan sikap atau tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial yang ada di masyarakat (Hurlock:250).

Fase-fase perkembangan sosial emosional anak usia dini


1. Fase Pembentukan Dasar Kepercayaan vs Tidak Percaya (0-12-18 Bulan)


Dalam fase ini anak mengalami krisis pertama dalam kehidupannya.Krisis ini menyangkut krisis kepercayaan terhadap lingkungan. Perawatan yang diberikan pada bayi merupakan prasyarat untuk timbulnya percaya dalam diri bayi tewrhadap lingkungannya.

Untuk membangun dasar kepercayaan tersebut maka pemenuhan kebutuhan bayi perlu dilakukan secara teratur. Misalnya : kebutuhab terhadap makanan, kebersihan (mandi, ganti, dan sebagainya. Di samping itu diperlukan juga cara-cara penanganan dalam merawat bayi. Perawatan ini haruslah menimbulkan rasa aman dan rasa terlindungi pada bayi. Hal tersebut merupakan faktor penentu untuk timbulnya rasa percaya dalam diri bayi. Apabila bayi tidak memperoleh perawatan yang demikian maka yang tumbuh dalam diri bayi adalah rasa tidak percaya atau curiga.

2. Fase Autonomi vs Malu dan ragu-ragu (18 bulan -3 tahun)


Bermodalkan rasa percaya dan sejalan dengan perkembangan baik fisik, kognitif dan bahasa, anak mulai mengeksplorasi lingkungannya. Ia bergerak kesana-kemari. Pada masa ini anak merasakan kebebasannya. Seiring dengan hal itu berkembang pula krisis tahap ke dua dalam diri anak. Rasa malu ini merupakan awal dari kepekaan anak terhadap sesuatu yang salah dan yang benar. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting dalam mengarahkan perkembangan psikososial anak berkembang dengan baik.

Kontrol yang terlalu ketat menyebabkan autonomi anak tidak berkembang. Sebaliknya kontrol yang terlalu longgar menyebabkan autonomi anak kurang peka terhadap mana yang salah dan mana yang benar.

3. Fase inisiatif vs Merasa Bersalah (3-6 tahun)


Pada tahap ini krisis yang terjadi dalam diri anak adalah antara inisiatif dan melaksanakan inisiatif tersebut, dan rasa bersalah untuk melakukan apa yang ingin dilakukan oleh anak. Oleh sebab itu anak perlu belajar mengendalikan perasaan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan jalan menanamkan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Di samping itu anak masih perlu merasakan kebebasannya. Apabila perkembangan rasa besalah melebihi perkembangan inisiatif anak maka anak akan menjadi anak yang tidak dapat mengespresikan keperibadiannya karena takut diangap salah. Anakakan diliputi rasa ragu-ragu.

Bertitik tolak dari pendapat para ahli tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa perkembangan psikososial merupakan suatu bentuk perkembangan yang bersifat kumulatif. Hal ini berarti bahwa perkembangan psikososial pada tahap awal akan mempengaruhi perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya. Oleh sebab itu apabila terjadi hambatan dalam perkembangan dalam perkebangan psikososial pada tahap awal maka keadaan ini akan mempengaruhi perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya.

Perkembangan sosialisasi pada anak ditandai dengan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan, menjalin pertemanan yang melibatkan emosi, pikiran, dan perilakunya. Perkembangan sosialisasi anak adalah proses dimana anak mengembangkan keterampilan interpersonalnya, belajar menjalin persahabatan, meningkatkan pemahamannya tentang orang di luar dirinya, dan juga belajar penalaran moral dan perilaku.

Perkembangan sosial emosional melibatkan pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri dan orang lain. Feeney (et.al) menyatakan bahwa perkembangan sosial emosional mencakup; kompetensi sosial (kemampuan dalam menjalin hubungan dalam kelompok sosial), kemampuan sosial (perilaku yang digunakan dalam situasi sosial), kognisi sosial (pemahaman terhadap pemahaman, tujuan, dan perilaku diri sendiri dan orang lain), perilaku sosial (kesediaan untuk berbagi, membantu, bekerjasama, merasa nyaman dan aman, dan mendukung orang lain), serta penguasaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas (perkembangan dalam menentukan standar baik dan buruk, kemampuan untuk mempertimbangkan kebutuhan dan keselamatan orang lain).

Sosialisasi adalah suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri. Sosialisasi merupakan proses dimana anak belajar untuk berperilaku sesuai dengan harapan budaya dimana anak dibesarkan. Sebagaimana Manning menyatakan "socialization is the process by which children learn to be have in acceptable manner, as defined by culture of which the family is apart". Sementara itu Drever mengemukakan pengertian sosialisasi sebagai suatu proses dimana individu beradaptasi dengan lingkungan sosial dan menjadi dikenali, dan bekerjasama dengan anggota kelompok tersebut.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan anak dalam bersosialisasi, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan sekolah, (3) lingkungan kelompok masyarakat, (4) faktor dari dalam diri anak.

Proses sosialisasi membutuhkan 3 (tiga) keterampilan khusus, yiatu: (1) proses imitasi, (2) proses identifikasi, dan (3) proses internalisasi. Proses imitasi adalah proses dimana anak belajar meniru perilaku yang dapat ditterima secara sosial. Anak melhat secara langsung perilaku orang lain yang dijadikan contoh/model. Proses identifikasi adalah terjadinya pengaruh sosial pada anak, dimana anak ingin menjadi seperti orang lain yang dicontoh. Proses internalisasi adalah proses penanaman serta penyerapan nilai-nilai. Dalam proses ini diperlukan pemahaman anak untuk membedakan nilai-nilai sosial yang baik dan buruk. Proses sosialisai juga diawali dengan adanya proses pengamatan terhadap perilaku orang lain.

Bandura mengemukakan tahapan atau fase yang dilalui individu dalam mengamati perilaku tertentu, yaitu; (1) memperhatikan (attention), (2) menyimpan (retention), (3) mereproduksi (reproduction), dan (4) motivasi (motivation).

Menurut Erikson, masa kanak-kanak merupakan gambaran awal individu sebagai seorang manusia, dimana prola sikap dan perilaku yang diperoleh anak, akan menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak selanjutnya. Pada anak usia 4-5 tahun sangat senang meniru pembicaraan maupun tindakan orang lain. Menurutnya, tahapan perkembangan psikososial pada anak pra sekolah adalah tahapan inisiatif atau prakarsa versus rasa bersalah. Pada tahap ini anak terlihat aktif dan mulai bermain serta menjalin komunikasi dengan anak-anak lain. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan menunjukkan perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin.

Ciri-ciri perkembangan sosial menurut Steinberg (1995), Hughes (1995) dan Piaget (1996) adalah: (1) memilih teman yang sejenis, (2) cenderung lebih percaya pada teman sebaya, (3) agresivitas lebih meningkat, (4) senang bergabung dalam kelompok, (5) memahami keberadaan bersama kelompok, (6) berpartisipasi dengan pekerjaan orang dewasa, (7) belajar membina persahabatan dengan orang lain, dan (8) menunjukkan rasa setia kawan.

Dalam kaitannya dengan perkembangan emosi pada anak usia dini, terdapat 3 (tiga) pola dasar emosi yang timbul pada anak, yaitu takut, marah, dan cinta (fear, anger, and love). Emosi dapat berubah bukan hanya disebabkan karena adanya perubahan perasaan, tetapi juga karena kondisi lingkungan yang dialami anak. Rasa takut dapat timbul karena adanya kejadian yang mendadak atau tidak terduga, dimana anak perlu menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa marah biasa muncul pada anak-anak untuk menarik perhatian orang lain. Rasa senang merupakan bentuk emosi yang menunjukkan kegembiraan atau keriangan yang dapat disertai dengan ekspresi tawa, senyum sebagai tanda relaksasi tubuh.

Karakteristik perkembangan emosi pada anak usia dini


  1. Emosi anak berlangsung singkat
  2. Emosi anak bersifat intense
  3. Emosi anak bersifat temporer
  4. Emosi anak muncul cukup sering
  5. Respon emosi anak bermacam-macam
  6. Emosi anak dapat dideteksi dengan melihat gejala perilakunya
  7. Kekuatan emosi anak dapat berubah
  8. Ekspresi emosi anak dapat berubah

Menurut Piaget, anak berada pada tahap perkembangan kognitif pra-operasional (2-7 tahun) ditendai dengan egosentrisme yang kuat, gagasan imajinatif, bertindak berdasarkan pemikiran intuitif atau tidak berdasarkan pemikiran yang rasional. Menurut Kroh, bahwa emosi anak usia 4-5 tahun berada pada masa kegoncangan atau biasa disebut sebagai trotz period. Pada masa ini muncul gejala kenakalan yang umum terjadi pada anak, seperti menentang pada orang tua, menggunakan kata-kata kasar, dengan sengaja melanggar hal yang dilarang dan sebagainya.

Karakteristik perkembangan emosi anak usia 5-6 tahun


  1. Memiliki keinginan untuk menyenangkan hati teman
  2. Sudah lebih mampu mengikuti aturan
  3. Sudah lebih mandiri di satu sisi, namun juga menunjukkan ketergantungan di sisi lain
  4. Sudah lebih mampu membaca situasi
  5. Mulai mampu menahan tangis dan kekecewaan
  6. Mulai sabar menunggu giliran
  7. Menunjukkan kasih sayang terhadap saudara maupun teman
  8. Menaruh minat pada kegiatan orang dewasa

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak


  1. Kematangan
  2. Belajar: pembiasaan dan contoh
  3. Inteligensi
  4. Jenis kelamin
  5. Status ekonomi
  6. Kondisi fisik
  7. Posisi anak dalam keluarga

Untuk mengembangkan kemampuan sosial dan emosi pada anak, maka pendidik memiliki peran yang sangat penting. Di antara peran pendidik tersebut adalah:

a. Memberikan berbagai stimulasi pada anak


Pendidik perlu memberikan stimulasi edukatif pada anak agar kemampuan sosial emosi anak berkembang sesuai tahapan usianya. Kegiatan belajar melalui permainan dapat dioptimalkan dengan cara menstimulasi anak misalnya; mengajak anak terlibat dalam permainan kelompok kecil, melatih anak bermain bergiliran, mengajak anak menceritakan pengalamannya di depan kelas, melatih kesadaran anak untuk berbagi dalam kegiatan kemanusiaan jika terjadi bencana, dan sebagainya.

b. Menciptakan lingkungan yang kondusif


Pendidik perlu mengelola kelas yang memungkinkan anak mengembangkan kemampuan sosial emosinya terutama kesadaran anak untuk bertanggungjawab terhadap benda dan tidakan yang dilakukannya. Lingkungan ini berupa fisik dan psikis. Lingkungan fisik menekankan pada ruang kelas sebagai tempat anak berlatih kecakapan sosial emosinya. Sedangkan lingkungan psikis lebih ditekankan pada suasana lingkungan penuh cinta kasih sehingga merasa nyaman dan aman di kelas.

c. Memberikan contoh


Pendidik adalah contoh konkrit bagi anak. Segala tindakan dan tutur kata pendidik anak diikuti oleh anak. Oleh karena itu pendidik seharusnya dapat menjaga perilaku sesuai dengan norma sosial dan nilai agama, seperti menghargai pendapat anak, bersedia menyimak keluh kesah anak, membangun sikap positif anak, berempati terhadap masalah yang dihadapi anak, dan sebagainya.

d. Memberikan pujian atas usaha yang dilakukan anak


Pendidik sebaiknya tidak sungkan memberikan pujian terhadap kecakapan sosial yang sudah dilakukan oleh anak secara proporsional. Pujian dapat diberikan secara lisan maupun non lisan. Misalnya dengan kata-kata yang menyenangkan, atau dengan senyuman, pelukan, dan pemberian tanda-tanda terentu yang bermakna untuk anak.

Dalam proses pembelajaran, berbagai program dapat dikembangkan oleh pendidik agar dapat meningkatkan sosialisasi dan emosi anak. Di antara program yang dapat dikembangkan adalah:

  1. Memberikan pilihan pada anak
  2. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya
  3. Memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi lingkungan
  4. Mendorong anak untuk bekerja secara mandiri
  5. Menghargai ide/gagasan anak
  6. Membimbing anak untuk melakukan pemecahan masalah
Artikel Terkait

Catatan:

File yang kami bagikan kami simpan di google drive, jika file format word dan excel dialihkan ke aplikasi google doc maka unduh / save as dulu ya. Namun jika kesulitan, silahkan baca cara downloadnya