Definisi, Macam-Macam, dan Prinsip Toleransi Dalam Beragama

Definisi, Macam-Macam, dan Prinsip Toleransi Dalam Beragama
Definisi, Macam-Macam, dan Prinsip Toleransi Dalam Beragama

Definisi Toleransi: Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata "toleran" itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara bahasa atau etimologi toleransi berasal dari bahasa Arab tasamuh yang artinya ampun, maaf dan lapang dada.

Secara terminologi, menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.

Namun menurut W. J. S. Poerwadarminto dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" toleransi adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.

Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik dari segi nama maupun kandungannya.

Istilah ini pertama kali lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.

Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis.

Ketiga istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. Kevin Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu pondasi terpenting dalam demokrasi.

Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap atau tingkah laku dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain dan memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.

Macam-macam Toleransi


1. Toleransi Terhadap Sesama Agama


Adapun kaitannya dengan agama, toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang berhubungan dengan ke-Tuhanan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan kebebasan untuk menyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-masing yang dipilih serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau yang diyakininya.

Toleransi mengandung maksud supaya membolehkan terbentuknya sistem yang menjamin terjaminnya pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat pada masyarakat dengan menghormati agama, moralitas dan lembaga-lembaga mereka serta menghargai pendapat orang lain serta perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya karena hanya berbeda keyakinan atau agama.

Toleransi beragama mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun.

Dalam agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu : hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam).

Pada hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau intern suatu agama saja. Hubungan yang kedua adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas panda lingkungan suatu agama saja, tetapi juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umum. Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama.

2. Toleransi Terhadap Non Muslim


Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran masing-masing. Menurut said Agil Al Munawar ada dua macam toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin tidak melahirkan kerjasama hanya bersifat teoritis.

Toleransi dinamis adalah toleransi aktif melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar umat beragama bukan dalam bentuk teoritis, tetapi sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa.

Menurut Harun Nasution, toleransi meliputi lima hal sebagai berikut:

Pertama, Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Ini berarti, kebenaran dalam hal keyakinan ada juga dalam agama-agama. Hal ini justru akan membawa umat beragama ke dalam jurang relativisme kebenaran dan pluralisme agama. Sebab, kepercayaan bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam satu agama berarti merelatifkan kebenaran Tuhan yang absolut. Argumen seperti ini sebenarnya tidak baru. Hal yang sama telah lama diutarakan oleh John Hick dalam bukunya A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths.

Kedua, Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.
Ketiga, Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama. Antara poin kedua dan ketiga terdapat korelasi dalam hal persamaan agama-agama. Namun, pada dasarnya, yang terpenting justru bukanlah persamaannya, tapi perbedaan yang ada dalam agama-agama tersebut. Teori evolusi Darwin misalnya, ia yakin bahwa manusia berasal dari monyet setelah melihat banyaknya persamaan antara manusia dan kera. Akan tetapi, Darwin lupa bahwa manusia juga memiliki perbedaan mendasar yang tidak dimiliki monyet. Manusia memiliki akal sedangkan monyet tidak. Inilah yang meruntuhkan teori evolusi.

Keempat, Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Kelima, Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Tampaknya, ketika berpendapat seperti ini Harun melihat sejarah kelam sekte-sekte agama Kristen. Sebab, dalam sejarah, Islam tidak pernah menyerang agama-agama lain terlebih dulu. Hal ini dapat ditelusuri dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafa' ar-Rashidin. Di mana agama-agama (Yahudi dan Kristen) justru mendapatkan perlindungan penuh tanpa pembantaian. Selain Harun Nasution, Zuhairi Misrawi juga berpendapat dalam bukunya al-Qur’an Kitab Toleransi dengan mengatakan bahwa toleransi harus menjadi bagian terpenting dalam lingkup intraagama dan antaragama.

Lebih lanjut, ia berasumsi bahwa toleransi adalah upaya dalam memahami agama-agama lain karena tidak bisa dipungkiri bahwa agama-agama tersebut juga mempunyai ajaran yang sama tentang toleransi, cinta kasih dan kedamaian.

Selain itu, Zuhairi memiliki kesimpulan bahwa toleransi adalah mutlak dilakukan oleh siapa saja yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai hati nurani. Selanjutnya, paradigma toleransi harus dibumikan dengan melibatkan kalangan agamawan, terutama dalam membangun toleransi antar agama. Dari paparan di atas dapat kita pahami bahwa istilah toleransi dalam perspektif Barat adalah sikap menahan perasaan tanpa aksi protes apapun, baik dalam hal yang benar maupun salah. Bahkan, ruang lingkup toleransi di Barat pun tidak terbatas.

Termasuk toleransi dalam hal beragama. Ini menunjukkan bahwa penggunaan terminologi toleransi di Barat sarat akan nafas pluralisme agama. Yang mana paham ini berusaha untuk melebur semua keyakinan antar umat beragama. Tidak ada lagi pengakuan yang paling benar sendiri dan yang lain salah. Akhirnya, semua pemeluk agama wajib meyakini bahwa kebenaran ada dalam agama-agama lainnya, sehingga beragama tidak ada bedanya dengan berpakaian yang bisa berganti setiap hari.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain. Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertakwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib untuk saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.

Prinsip-prinsip Toleransi Beragama


Dalam melaksanakan toleransi beragama kita harus mempunyai sikap atau prinsip untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Adapun prinsip tersebut adalah:

1. Kebebasan Beragama


Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaan atau kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan beragama sering kali disalah artikan dalam berbuat sehingga manusia ada yang mempunyai agama lebih dari satu.

Yang dimaksudkan kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya, kemerdekaan telah menjadi salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.

Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama.

2. Penghormatan dan Eksistensi Agama lain


Etika yang harus dilaksanakan dari sikap toleransi setelah memberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui negara maupun belum diakui oleh negara. Menghadapi realitas ini setiap pemeluk agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan pemeluk agama lain.

3. Agree in Disagreement


"Agree in Disagreement" (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu didengugkan oleh Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan. Dari sekian banyak pedoman atau prinsip yang telah disepakati bersama, Said Agil Al Munawar mengemukakan beberapa pedoman atau prinsip, yang perlu diperhatikan secara khusus dan perlu disebar luaskan seperti tersebut di bawah ini:

a. Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect) Semua pihak dianjurkan membawa kesaksian yang terus terang tentang kepercayaanya di hadapan Tuhan dan sesamanya, agar keyakinannya masing-masing tidak ditekan ataupun dihapus oleh pihak lain. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarkan serta semua pihak dapat menjauhkan perbandingan kekuatan tradisi masing-masing yang dapat menimbulkan sakit hati dengan mencari kelemahan pada tradisi keagamaan lain.

b. Prinsip kebebasan beragama (religius freedom). Meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom) Kebebasan individual sudah cukup jelas setiap orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk pindah agama. Tetapi kebebasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat hidup tanpa tekanan sosial. Bebas dari tekanan sosial berarti bahwa situasi dan kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan.

c. Prinsip penerimaan (Acceptance) Yaitu mau menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain, tidak menurut proyeksi yang dibuat sendiri. Jika kita memproyeksikan penganut agama lain menurut kemauan kita, maka pergaulan antar golongan agama tidak akan dimungkinkan. Jadi misalnya seorang Kristen harus rela menerima seorang penganut agama Islam menurut apa adanya, menerima Hindu seperti apa adanya.

d. Berfikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy) Orang berpikir secara "positif" dalam perjumpaan dan pergaulan dengan penganut agama lain, jika dia sanggup melihat pertama yang positif, dan yang bukan negatif. Orang yang berpikir negatif akan kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Dan prinsip "percaya" menjadi dasar pergaulan antar umat beragama. Selama agama masih menaruh prasangka terhadap agama lain, usaha-usaha ke arah pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab kode etik pergaulan adalah bahwa agama yang satu percaya kepada agama yang lain, dengan begitu dialog antar agama antar terwujud.

Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-masing.

Referensi:
  1. Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir (Yogyakarta: Balai Pustaka Progresif, t.th.), 1098.
  2. W. J. S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 184.
  3. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta : Perspektif, 2005), 212.
  4. Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi (Jakarta : Pustaka Oasis, 2007), 161.
  5. Ibid. 16, 159, 
  6. Kevin Osborn, Tolerance, (New York : 1993) 11.
  7. Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), 13.
  8. Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2003),
  9. Dyayadi, M.T., Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta : Qiyas, 2009), 614.
  10. John Hick, A Christian Theology Of Religions: The Rainbow Of Faiths (America : SCM, 1995), 23.
  11. Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi..., 159.
  12. Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang), 22.
  13. Abd. Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana, 1999), 4.
  14. Ruslani, Masyarakat Dialoq Antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000), 169.
  15. Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), 22, 24.
Artikel Terkait

Catatan:

File yang kami bagikan kami simpan di google drive, jika file format word dan excel dialihkan ke aplikasi google doc maka unduh / save as dulu ya. Namun jika kesulitan, silahkan baca cara downloadnya