A. Budaya Religius di Sekolah. Dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam sumber ajaran Islam, nilai yang fundamental adalah nilai tauhid. Ismail Raji al-Faruqi, menformulasikan bahwa kerangka Islam berarti memuat teori-teori, metode, prinsip dan tujuan tunduk pada esensi Islam yaitu Tauhid[1]. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dalam penyelenggarannya harus mengacu pada nilai fundamental tersebut.
Nilai tersebut memberikan arah dan tujuan dalam proses pendidikan dan memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan[2]. konsepsi tujuan pendidikan yang mendasarkan pada nilai Tauhid menurut an-Nahlawi disebut ”ahdaf al-rabbani”, yakni tujuan yang bersifat ketuhanan yang seharunya menjadi dasar dalam kerangka berfikir, bertindak dan pandangan hidup dalam sistem dan aktivitas pendidikan.
Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, pembelajaran agama diharapkan menerapkan prinsip-prinsip keberagaman sebagai berikut;
- Belajar Hidup dalam Perbedaan
- Membangun Saling Percaya (Mutual Trust)
- Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)
- Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
- Terbuka dalam Berfikir
- Apresiasi dan Interdepedensi
- Resolusi Konflik.
Strategi dalam Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah.
1. Terbentuknya Budaya Religius di Sekolah.
Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive dan dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah pembentukan atau terbentuknya budaya religius sekolah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan.
Yang kedua adalah pembentukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan.[6]
2. Strategi Pengembangan PAI dalam Mewujudkan Budaya Religius Sekolah.
Menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah, diantaranya melalui:
- Memberikan contoh (teladan)
- Membiasakan hal-hal yang baik
- Menegakkan disiplin
- Memberikan motivasi dan dorongan
- Memberikan hadiah terutama psikologis
- Menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan)
- Penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[7]
Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang sangat mendukung terhadap keberhasilan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu: pertama, kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap pengembangan PAI; kedua, keberhasilan kegiatan belajar mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama; ketiga, semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS khususnya Seksi Agama; dan keempat, dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan pengembangan PAI.
Sedangkan strategi dalam mewujudkan budaya religius di sekolah, meminjam teori Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya.[8]
Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan melalui:
- Power strategi, yakni strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, Dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan
- Persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah; dan
- Normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education (pendidikan). Normative digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir warga sekolah yang lama dengan yang baru.
Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan punishment. Allah swt memberikan contoh dalam hal Shalat agar manusia melaksanakan setiap waktu dan setiap hari, maka diperlukan hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. ”Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk salat ketika umur mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya (tidak mau salat) ketika umur mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”.[10]
Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah perkembangan. [11]
Makalah Budaya Religi di Sekolah
DAFTAR PUSTAKA
- Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of knowledge: General Principles and Workplan, (Washington DC., International institute of Islamic Thoungt, 1982) 34-36
- J.S. Brubacher, Modern Philoshophy of Education (Tata Mc. Graw Hill, Publishing, Co. Ltd., New Delhi, Edisi ke-4) : 96
- al-Qur’a>n, 2 (al-Baqarah): 208.
- Muhaimin, 1999. Paradigma Pendidikan Islam, 294.
- Ibid.
- Talizuhu Ndara, 2005. Teori Budaya Organisa .(Jakarta: Rineke Cipta) 24.
- Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, ( Bandung: Remaja; Rosda Karya, 2004), 112.
- Koentjaranindrat, ”Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dalam Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 157.
- Hickman dan Silva () (dalam Purwanto, Budaya Perusahaan, (Yogyakarta Pustaka Pelajar: 1984), 67.
- HR. Ahmad, no. Hadith 6689
- Muhaimin, 160-167.
Artikel Terkait