Jejak Aneh Orang-Orang Jadzab

Jejak Aneh Orang-Orang Jadzab
Jejak Aneh Orang-Orang Jadzab

“Jangan sampai kau sibukkan pikiranmu dengan apa yang dilakukan oleh Syekh Ibnu Arabi dan yang semisalnya, karena itu adalah hal yang sudah keluar dari kebiasaan. Sebagian orang mungkin terjebak menuduhkan hal-hal yang tidak mereka lakukan kepada mereka. Ikutilah cara Imam al-Ghazali dan semisalnya, dengan paham tasawuf, fikih, dan keilmuannya. Karena, inilah ilmu syariat, dan makna yang tersurat dari al-Qur’an dan Sunah. Dengan berpegang teguh kepada itu, engkau akan mendapatkan keselamatan dan keberhasilan. Hindari yang selain itu, karena bisa membingungkan orang lain.”

Inilah pernyataan salah tokoh utama tarekat Bani Alawi, yaitu Imam al-Haddad. Tarekat Alawiyah memang dikenal sebagai tarekat yang sangat teguh dalam memegang syariat dan Sunnah. Mereka hidup wajar, dan tidak ada yang aneh dalam suluk mereka. Namun demikian, mereka tetap memaklumi bahwa dalam kondisi tertentu seorang sufi memang bisa mengalami jazab. Al-Faqih al-Muqaddam, salah satu perumus terpenting manhaj thariqah Alawiyah, konon juga pernah mengalami kondisi jazab selama 100 hari di akhir hayatnya. Selama masa itu, beliau tidak makan, tidak minum dan tidak berdialog dengan orang di sekelilingnya.

Dalam kondisi jazab, seorang waliyullah bisa melakukan apa saja di luar kesadaran mereka, termasuk melakukan hal-hal yang secara lahiriah dianggap menyimpang dalam pandangan syariat. Mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai penyimpangan tersebut, karena mereka melakukannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak mukalaf. Tapi, kata Syekh Said an-Nursi, tetap ada batas. Dalam penyimpangan tersebut, tidak ada ucapan atau sikap yang mengesankan menentang hakikat syariat dan kaidah iman. “Kalau saat dia tidak sadar ada ucapan atau sikap yang mengesankan pendustaaan atau pengingkaran terhadap berbagai hakikat yang kokoh tersebut, maka Na’udzubillâh, itu merupakan pertanda celaka bagi dia…”.

Syekh Ismail Haqqi menyatakan, bahwa orang jazab tidak terkena khithab aturan syariat, karena akal mereka sudah hilang disebabkan pengalaman agung bersama Allah yang mereka alami. Ulama fikih pun juga memaklumi hal itu. Imam as-Suyuthi dalam al-Hâwi lil-Fatâwa menyatakan bahwa, cara paling elegan dalam menyikapi ucapan-ucapan nyeleneh yang muncul dari kalangan sufi semisal “Aku adalah Allah” adalah dengan menyatakan bahwa hal itu mereka lakukan dalam keadaan sakar dan tenggelam dalam akalnya yang menghilang. Atau, mereka menyatakan hal itu atas dasar hikâyah (menceritakan firman Allah). Sikap semacam ini perlu diambil jika ucapan atau tindakan aneh itu muncul dari orang yang memang masyhur memiliki ilmu yang tinggi, amal yang baik, tekun mujahadah, dan patuh terhadap syariat. Lain halnya jika muncul dari orang bodoh atau orang-orang yang fasiq.

Namun demikian, perlu juga diketahui bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang wali tidak semuanya dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Ada pula yang melakukannya dalam keadaan sadar. Dengan demikian berarti dia melakukan maksiat. Dalam hal ini, terjadinya maksiat dari para wali mirip dengan terjadinya maksiat dari para Sahabat Rasulullah Mereka mungkin melakukan perbuatan maksiat, tapi hal itu tidak seberapa dibanding kebaikan mereka yang luar biasa besar.

Syekh Zarruq dalam kitab an-Nashîhah al-Kâfiyah menyatakan, “Mengenai perbuatan (orang-orang sufi) yang harus diingkari (secara syariat), maka harus diingkari, tapi dengan tetap meyakini bahwa mereka adalah orang-orang baik. Sebab, seorang wali tidak mustahil melakukan kesalahan. Mereka cuma mahfûzh (dijaga, tapi tidak maksum). Orang mahfûzh masih mungkin melakukan maksiat. Konon, pernah ada orang bertanya kepada Imam al-Junaid al-Baghdadi, “Apakah orang yang makrifat bisa melakukan zina?” Beliau menjawab, “Ketetapan Allah pasti terjadi…”. Beliau mengutip QS al-Ahzab: 38 untuk menyatakan bahwa hal itu mungkin terjadi.

Prinsipnya, mengenai orang-orang yang sudah masyhur akan kebaikannya dalam hal akidah, ilmu dan amal, maka sebisa mungkin dilihat dengan cara pandang yang baik (husnuz-zhann). Maka, tidak perlu diingkari dari mereka kecuali hal-hal yang sudah disepakati oleh ulama akan keharamannya, sebagaimana juga tidak boleh dimaklumi dari mereka kecuali perbuatan yang masih memiliki bentuk untuk diperbolehkan. Demikian kata Syekh Zarruq.

Mengenai hal itu, sebagian ulama memang masih meragukan adanya kondisi jazab yang bisa menyebabkan seseorang terlepas dari taklif sampai melakukan perbuatan maksiat. Logikanya, kalau akalnya hilang karena tenggelam dalam kebenaran, maka semestinya apa yang ia lakukan kental dengan kebenaran. Tentu, akan lain halnya jika akalnya hilang karena tenggelam dalam bayang-bayang khayalan.

Kondisi jazab yang menyebabkan seorang sufi terlepas dari akalnya, menurut Syekh Ismail Haqqi ada tiga tingkat. Yang pertama, pengalaman metafisisnya bersama Allah (al-wârid) jauh lebih tinggi daripada kekuatan yang ada dalam dirinya. Pengalaman itu menguasai dirinya secara penuh, sehingga dia tidak bisa mengendalikan diri sendiri. Akalnya hilang sama sekali.

Kedua, akalnya masih ada dan perasaan kemanusiaannya masih tersisa. Dia masih makan, minum, dan hidup wajar secara lahiriah, tapi tidak disertai tadbîr (perencanaan yang disadarinya secara penuh). Merekalah yang disebut uqalâ’ul-majânîn atau orang-orang waras yang gila, karena secara lahiriah dia normal, tapi batinnya sedang terpukau dan terkesima.

Ketiga, pengalaman metafisis itu tidak bertahan lama menguasai dirinya. Jazabnya cuma sebentar. Dia segera kembali normal, hidup wajar, menyadari segala ucapan dan rangsangan di sekelilingnya, disertai dengan tadbîr (perencanaan yang disadari sepenuhnya) seperti manusia pada umumnya. Di kalangan sufi, ini disebut Shâhibul-Qadam al-Muhammadi atau orang yang menapaki jejak Nabi Muhammad . Pada detik-detik sedang menerima wahyu, Rasulullah. seperti terlepas dari kemanusiaannya dengan tubuh gemetar dan tidak menghiraukan apa yang ada di sekelilingnya. Setelah selesai, beliau langsung kembali ke dalam keadaan sediakala, menyampaikan wahyu tersebut kepada para Sahabat seperti biasa.

Jazab ada yang mirip dengan kondisi itu. Dan, inilah tingkat jazab yang paling sempurna, jazab yang disertai keseimbangan antara rangsangan fisik dan tarikan metafisik.

Referensi : https://www.sidogiri.net/
Artikel Terkait

Catatan:

File yang kami bagikan kami simpan di google drive, jika file format word dan excel dialihkan ke aplikasi google doc maka unduh / save as dulu ya. Namun jika kesulitan, silahkan baca cara downloadnya