Banyak muslimah menganggap bahwa rasa sakit adalah segala penderita yang tidak sepantasnya terulang kembali. Rasa sakit ini bahkan bagi sebagian kata telah menjadi momok menakutkan saat kembali mengingatnya. Dalam bukunya "La Tahzan", Aidh al-Qarni menjelaskan dengan gamblang mengenai nikmatnya rasa sakit.
Aidh al-Qarni menegaskan dengan cerdas bahwa rasa sakit tidak selamanya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang. Biasanya ketulusan sebuah oa muncul tatklala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ketulusan tasbih yang senantiasa terucap saat rasa sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat saat menuntut itulah yang telah mengantarkan seorang pelajar menjadi ilmuwan terkemuka.
Masih menurut al-Qarni bahwa usaha keras seorang penyair memilih kata-kata untuk bait-bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat menawan. Ia dengan hati urat syaraf, dan darahnya, telah larut bersama kerja kerasnya itu, sehinga syair-syairnya mampu menggerakan perasaan dan menggoncangkan hati
Begitu juga dengan upaya keras seorang penulis telah menghasilkan tulisan yang sangat menarik dan peuh dengan ‘ibrah’, contoh-contoh dan petunjuk. Lain dengan halnya dengan seorang pelajar yang senang hidupnya foya-foya, tidak aktif, tidak pernah terbelit masalah, tidan tidak pula tertimpa musibah. Ia akan selalu menjadi orang yang malas, enggan bergerak, dan mudah putus asa.
Qarni juga menambahkan bahwa seorang penyait yang tidak pernah merasakan pahitnya berusaha dan tidak pernah mereguk pahitnya hidup, maka untaian qasihdah-qasihdah-nya hanya akan terasa seperti kumpulan kata-kata murahan yang tidak bernilai. Sebab qasidah-qasidah-nya hanya keluar dari lisannya, bukan dari perasaannya. Apa yang dia utarakan hanya sebatas penarannya saja dan bukan dari hati nuraninya.
Qarni memberi contoh bahwa pola kehidupan yang baik adalah kehidupan kaum mukmin generasi awal. Yaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama, dan diawal masa perutusan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokokh, hati yang baik, bahasa yang bersahaja dan ilmu yang luas. Mereka merasakan keras dan pedihnya kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan karena semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Mereka menjadi tanda kesucian, panji kekebalan, panji kebajikan dan simbol pengorbanan.
"...Yang demikian itu ialah karena mereka ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpa sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu amal salih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah : 120)
Oleh karena itu, tak usah bersedih bila Anda harus bersusah payah, khususnya kaum muslimah, dan tak usah takut dengan beban hidup, sebab mungkin saja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu, serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti. Qarni menegaskan bahwa jika Anda hidup dengan penuh hati yang berkobar, cinta yang membara dan jiwa yang bergelora, akan lebih baik dan lebih terhormat dari pada harus hidup dengan perasaan yang dingin, semangat yang layu dan jiwa yang lemah.
Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka : "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu" (QS. At-Taubah : 46)
Qarni mencontohkan seorang penyair yang ia kagumi memiliki semangat hidup tinggi, dedikasi terhadap kehidupan yang tidak asal. Kehiupan baginya selalu punya makna. Dialah Malik ibn ar-Rayyib. Ia meratapi dirinya :
Tidakkah kau lihat aku menjual kesesatan dengan hidayah dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang Alangkah indahnya aku, tatkala aku biarkan anak-anakku taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta-hartaku wahai kedua sahabat perjalananku, kematian semakin dekat berhentilah di tempat tinggi sebab aku akan tinggal malam ini. Tinggallah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat lari ia, telah jelas yang akan menimpa Goreslah tempat tidurku denganujung gerigi dan kembalikan ke depan mataku kelihatan selendangku Jangan kau iri, semoga Allah memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga makin luas untukku.
Demikianlah, ungkapan-ungkapannya demikian syahu, penyesalan yang sangat berat iucapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup. Ia tak ubahnya seorang penasehat yang juga pernah merasakan apa yang dia ucapkan. Dan, biasanya, perkataan atau nasehat orang seperti itu akan mudah masuk ke dalam relung kalbu dan meresap kedalam ruh yang paling dalam. Semua itu adalah karena ia mengalami sendiri kehidupan pahit dan beban berat yang ia bicarakan.
"... Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)". (QS. Al-Fath : 18)
Jangan cela orang yang sedang kasmaran hingga belitan keras deritamu berada dalam derita dirinya
Menurut Qarni, karya-karya yang demikian itu tak ubahnya dengan potongan-potongan es dan bongkahan-bongkahan tanah; dingin dan tawar. Semua itu, tak lain karena nasehat-nasehat itu tidak terucap dari mulut seseorang yang berlangsung pernah mengalami dan menghayati sendiri suatu kesedihan dan kesengsaraan.
"... Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya" (QS. Ali ‘Imran : 167)
Agar ucapan Anda dapat menyentuh hati pembacanya, masukanlah terlebih dahulu kedalamnya. Sentuhlah, rasakanlah, dan resapilah niscaya Anda akan mampu memberikan sentuhan ke tengah masyarakat
"Kemudian, apabila telah Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah" (QS. Al-Hajj : 5)
Wahai muslimah, tentulah penjelasan diatas bila menjadi pelipur kita semua tentang bagaimana menikmati rasa sakit. Bahwa rasa sakit itu akan menjadi ‘sahabat’ yang lama-lama, sebagai seorang 'sahabat' maka ia tidak aka menyakiti meskipun namanya sudah terlarut rasa sakit.
Artikel Terkait